Aku bermaksud dengan tidak terharu,
Dengan suara keras mengucapkan puisiku ini
Sungguh dan dingin,
Yang bakal kaudengar !
Kauperhatikan apa isinya.
Dan awaslah terhadap kesan yang mau tak mau,
Membekas olehnya;
Sebagai suatu cacat dalam khayalmu yang kacau dan angkuh,
Tampakkan aslimu yang begitu dungu.
Eiiittt., sesekali jangan percaya aku bakal lebih dulu mati,
Siar mimbarku belum lagi suatu kerangka,
Dan usia tua belum lagi hinggap di keningku,
Yang mengkilap.
Kesampingkan saja hasrat, jika kauingin mengumpat !
Bagaimanapun juga, jika sanggup kau setenang aku dalam membaca bahan.
Yang telah aku menyesal menawarkan kepadamu,
Lalu mukamu memerah; memikirkan apa benar jantungmu masih berdegup,
Dan masih begitu merah, itu warna darah yang mengkristali otakmu.
Sambotak, kenapa mesti kaupertanyakan;
Jika putusan peteuen bukan hanya milikimu,
Jika putusan peteuen begitu berpihak untuk pegeeriku,
Jika putusan peteuen tak bisa tumbuh dari hasil Unipah selingkuh,
Jika putusan peteuen adalah rasa pedas sayur-mayur yang dimasak istriku,
Dan jika putusan peteuen bukan segelas teh hangat yang dibuat si Unipah, lontemu !
Kau mau apa ?
Apa hakmu memertanyakannya ?
Apalagi melarang; pegeeriku untuk menang !
Sambotak, tak putus-putusnya kau bergembar-gembor;
Perguncingkan hal-hal yang remeh,
Hingga kadang kau lupa siapa dirimu;
Seekor anjing buduk, yang ingin mendapatkan hanya sebatang tulang kering tak berdaging.
Sambotak, teruslah menggonggong, dan jangan berhenti, sebelum kau kukremasi.
Ach, maafkan aku Sambotak,
Aku namai kau Sambotak,
Karena ternyata dungumu melebihi botakmu.
Nganjuk, 4 Agustus 2024
DIENZA AGOESTHA

Tidak ada komentar:
Posting Komentar