Hari ini, Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya—Kwik Kian Gie. Seorang ekonom, teknokrat, dan cendekiawan yang menjadikan kejujuran sebagai prinsip, dan keberanian sebagai jalan hidup. Kepergiannya membuat negeri ini tidak hanya kehilangan pribadi yang bersuara lantang terhadap ketimpangan, melainkan kehilangan satu bentuk keberanian yang kini mulai langka: keberanian berpikir merdeka, berbicara apa adanya, dan hidup sesuai nurani.
Di tengah deretan pejabat yang kerap berlomba mempertontonkan kemewahan, dan—jangan lupa—akses fasilitas negara, Kwik Kian Gie justru memilih hidup sederhana. Padahal kemewahan itu terbentang di hadapannya. Bahkan mendatanginya. Namun ia memilih lorong sepi yang lebih mulia: setia pada nurani. Ia tahu, kekuasaan bisa memikat, tetapi integritas adalah satu-satunya harta yang tidak bisa digadaikan. Dan beliau memilih untuk tidak menjualnya, meski kadang harga pasarnya sedang tinggi-tingginya.
Kwik bukan hanya ekonom yang lengkap dari sisi metodologi, data dan ketajaman analisis. Ia adalah suara yang jernih yang kerap mengingatkan bahwa ekonomi bukan sekadar statistik, tapi tentang manusia, keadilan, kepedulian dan keberpihakan. Ia berbicara untuk rakyat kecil, meski mikrofon lebih sering diarahkan kepada mereka yang punya kepentingan besar. Keberpihakannya tidak berubah, meskipun panggung politik terus berganti aktor dan naskah.
Integritasnya memancar bukan hanya dari data dan logika yang ia sodorkan dalam setiap diskusi publik, tetapi dari pilihan hidup yang ia jalani. Ia bukan nasionalis karena retorika, tetapi karena laku. Ia tidak sekedar bernarasi, melainkan berdedikasi. Ia rela mempertaruhkan kenyamanan demi menegakkan kebenaran. Ia tak hanya tertulis dalam buku-buku kebangsaan, tetapi tercetak dalam hati setiap orang yang menyaksikan keteguhan dan ketulusannya.
Kini, ia telah berpulang. Tapi bukan sebagai konglomerat yang meninggalkan warisan saham dan segala jaminan kemewahan. Ia pergi sebagai pejuang pikiran dan gagasan, sebagai nasionalis sejati, sebagai sosok langka yang menolak ikut arus ketika arus itu membawa pada pengkhianatan atas prinsip.
Mungkin kelak kita akan melihat patungnya berdiri, atau namanya disebut dalam sesi-sesi perkuliahan ekonomi dan kebangsaan. Tapi sesungguhnya, warisan terbesar yang ia tinggalkan adalah teladan hidup— bahwa menjadi pintar itu penting, tetapi menjadi benar jauh lebih mendesak. Bahwa negeri ini tak hanya butuh pemikir, tapi pemikir yang jujur. Dan bahwa keberanian menyuarakan kebenaran akan selalu lebih mulia daripada diam demi kenyamanan.
Kita pun teringat pada ungkapan bijak: “Tidak semua pahlawan memakai jubah.” Beberapa hanya memakai kemeja sederhana, membawa data, berkata jujur dan berbicara tegas, dan menolak kompromi ketika nurani berkata tidak.
Selamat jalan, Bapak Kwik Kian Gie. Engkau telah menunaikan tugasmu dengan mulia. Pemikiranmu abadi, jasamu tak terlupakan. Dan semoga kini engkau beristirahat dalam kedamaian yang sepadan dengan kejujuran yang engkau jaga sepanjang hayatmu
Depok, Malam Hari
29 Juli 2025
*) Sekretaris Jenderal PB PGRI

